Fenomena Sunhaji dan Empati Kaum Tertindas di Era Digital

Ary Nugraha Pendiri/CEO Keroncongantar


MAHASISWARIAU.ID, OPINI - Dalam era digital, cerita tentang Sunhaji, seorang pedagang es teh di Magelang, menjadi bukti nyata bagaimana media sosial mampu mengubah narasi seseorang dari "tertindas" menjadi "pemenang simpati". Kejadian ini dimulai dengan video yang menunjukkan Sunhaji mendapat cacian berupa kata "goblok" dari Gus Miftah, seorang tokoh agama sekaligus Staf Khusus Utusan Presiden. Video ini viral, memantik amarah dan simpati luas dari netizen, yang kemudian membanjiri Sunhaji dengan dukungan finansial hingga ratusan juta rupiah.  

Kekuatan Empati Digital
Dalam masyarakat modern, empati terhadap kaum kecil atau mereka yang dianggap tertindas menjadi salah satu dorongan terbesar dalam aksi solidaritas di dunia maya. Media sosial telah menjadi ruang publik yang memungkinkan cerita seperti ini menyentuh hati jutaan orang. Sunhaji, seorang pedagang kecil yang bekerja keras, dengan mudah menjadi representasi dari "orang biasa" yang sering kali dipandang sebelah mata oleh mereka yang lebih berkuasa.  

Fenomena ini mengungkap beberapa dinamika penting:  
1. Media Sosial Sebagai Katalis Perubahan  
   Dalam beberapa jam setelah video Sunhaji viral, netizen bergerak untuk menunjukkan empati. Donasi mengalir deras, membuktikan bahwa media sosial bukan hanya tempat untuk hiburan, tetapi juga alat pemberdayaan sosial. Sunhaji tidak hanya mendapatkan dukungan finansial tetapi juga penghormatan sebagai simbol perjuangan rakyat kecil.  

2. Kritik Terhadap Elite Publik  
   Kejadian ini juga menjadi pengingat bagi tokoh-tokoh publik untuk lebih berhati-hati. Sikap merendahkan, apalagi terhadap masyarakat kecil, dapat memicu backlash besar yang merugikan reputasi mereka. Gus Miftah, meskipun telah memberikan klarifikasi dan permintaan maaf, tetap menjadi sorotan atas tindakan yang dianggap tidak pantas.  

3. Daya Tarik Narasi Kaum Tertindas
   Netizen memiliki kecenderungan untuk berpihak kepada "underdog". Dalam kasus ini, Sunhaji mendapatkan gelar tidak resmi sebagai simbol ketabahan dan kesederhanaan. Hal ini mencerminkan sensitivitas sosial di era digital, di mana kisah perjuangan pribadi mampu menggugah hati banyak orang.  

Pelajaran dari Fenomena Sunhaji

1. Solidaritas dan Perubahan Sosial 
Dukungan yang diterima Sunhaji membuktikan bahwa masyarakat memiliki potensi besar untuk menciptakan perubahan sosial melalui media sosial. Solidaritas netizen telah memberikan dampak langsung yang nyata pada kehidupan Sunhaji.  

2. Branding Lewat Empati
Dalam pemasaran, fenomena ini juga memberikan wawasan berharga: brand atau individu yang mampu menunjukkan empati dan mendukung masyarakat kecil akan mendapatkan simpati yang luas. Hal ini bisa diterapkan dalam strategi komunikasi bisnis, terutama untuk membangun loyalitas pelanggan.  

3. Menjaga Etika Publik di Era Transparansi  
Bagi figur publik, kejadian ini menjadi pengingat bahwa sikap dan kata-kata mereka selalu berada di bawah pengawasan. Etika dalam berkomunikasi menjadi semakin penting karena media sosial tidak pernah melupakan kesalahan.  

Sunhaji telah menjadi simbol perjuangan kecil yang berdampak besar. Solidaritas yang ia terima bukan hanya tentang uang, tetapi juga tentang penghormatan. Di era digital ini, kisah-kisah seperti ini mengingatkan kita bahwa empati memiliki kekuatan untuk meruntuhkan dinding kesenjangan sosial.  

Bagaimana kita, sebagai individu atau komunitas, dapat terus mendukung "Sunhaji-Sunhaji" lain yang mungkin ada di sekitar kita? Jawabannya ada pada kemampuan kita untuk mendengarkan, memahami, dan bertindak demi keadilan sosial yang lebih luas.

Penulis : Ary Nugraha, Pengamat Media Sosial, Alumni FISIP Universitas Riau, dan Praktisi Digital Problem Solving. 
settia