Menilik Kebijakan Pendidikan Tinggi

MAHASISWARIAU.ID Aktifitas dunia pendidikan sudah dikuasai oleh kinerja “sistem pasar”...( Henry B Priyono)

Begitu tulis salah satu kutipan Hendri B Priyono dalam bukunya. Jika ditilik lebih jauh, pantas kiranya apa yang dirisaukan penulis tersebut.

Secara sederhana gambaran realitas demikian dapat dilihat dalam akses pendidikan tinggi di tanah air. Seperti hal kebijakan Uang Kuliah Tunggal (baca; UKT)

Sebagai alas berlakunya sistem UKT, Permen 55 tahun 2013, sangat berlawanan dengan logika umum. Misalkan, sulit memahami polarisasi akses pendidikan yang semakin mempersempit mahasiswa kalangan ekonomi lemah. Dalam sitem pembiayaan UKT hanya memberikan jatah 10 % kuota mahasiswa miskin (yang ditarik dalam level I sebesar 5 % dan level II sebesar 5%). Dua level inilah yang dapat dikatakan kuota bagi mahasiswa miskin. Dengan logika demikian, andaikan mahasiswa miskin berjumlah 40% dalam satu penerimaan mahasiswa, sulit membayangkan nasib 30% jumlah mahasiswa ekonomi lemah tersebut dikemanakan?

Selain itu, skema penyicilan pembiayaan UKT yang dianggap sebagai  solusi alternatif yang diterapkan perguruan tinggi, tak lain hanyalah bentuk kastanisasi dan pembebanan biaya pendidikan kepada peserta didik. Artinya, peserta didik dibebankan utang sebagai solusi?

Langkah kebijakan ini akan berdampak sistemik terhadap diskriminasi yang membebani penghidupan dan masa depan keluarga mahasiswa miskin, serta masyarakat yang tidak mampu karena akan menumpuk beban pembiayaan uang kuliah. Sehingga, secara perlahan akan mematikan ekonomi keluarga yang akan berdampak kepada terhentinya kuliah mahasiswa dan berdampak negatif akan pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Di sisi lain mahasiswa dan orang tua yang terbebani pembiayaan UKT terpaksa mengambil pilihan untuk berhenti studi sementara (BSS) oleh karena tidak adanya kemampuan untuk membiayai beban studi pendidikan. Menjadi parah jikalau keberlanjutan kuliah mahasiswa hanya untuk melunasi hutang dan beban pendidikan yang tidak berkeadilan.

Berhentinya keberlanjutan mengakses  pendidikan di perguruan tinggi menegaskan kepada kita bahwasanya hari ini terjadi suatu kegagalan terhadap tuntutan reformasi bersama yakni tujuan untuk mencapai kedaulatan rakyat yang berkeadilan dan sejahtera secara bersama-sama.

Problema pendidikan yang demikian secara tidak langsung akan berdampak terhadap re-generasi masa yang akan datang. Karena, jika agenda pendidikan ini menjadi terabaikan dan terkalahkan oleh sektor-sektor dalam kelompok ekonomi maka yang menjadi taruhannya adalah peradaban Indonesia dan ketidakmandirian psikologi pengetahuan masyarakat di kemudian hari.

Pemerataan Pendidikan
Rendahnya taraf pertumbuhan pendidikan akan mengakibatkan kemampuan pengembangan diri terbatas dan menyebabkan sempitnya kesempatan mengakses penghidupan di masa yang akan datang dan gagalnya pemanfaatan peluang oleh mahasiswa ekonomi lemah .

Untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net),  maka perlunya mengisi kapasitas intelektualitas generasi masa kini berdasarkarkan kultur masyarakat agar tidak terjadinya suatu pembodohan secara massive di kalangan masyarakat miskin, dan marginal. Pendidikan harus dikembalikan kepada roh sebagai tujuan pembebasan sebagaimana diungkapkan oleh Paulo Freire. Investasi terhadap modal manusia (human capital) bertujuan untuk membebaskan diri dari ketidaktahuan akan pengetahuan dan termakannya kebodohan akan zaman modernitas yang semakin individualitas.

Kepedulian kepada kesejahteraan bersama menjadi pedoman untuk proses transformasi pengetahuan kepada generasi masa kini. Perlakuan yang adil terhadap masyarakat adalah bagian dari adanya jaminan perlindungan dan penghidupan mereka di masa depan. Karena, pendidikan dan pengetahuan adalah aset revolusi sosial yang memberikan kita jiwa kemerdekaan secara individu dan sebagai tujuan gerakan kolektif membangun peradaban yang lebih humanis.

Bahwa, dengan pemerataan tercipta landasan yang lebih luas untuk pertumbuhan dan akan menjamin pertumbuhan yang berkelanjutan di dalam masyarakat madani. Karakter pembangunan peradaban masyarakat Indonesia harus di lihat atas dasar pembangunan insan kehidupan warga negara dengan memberikan apa yang menjadi hak pendidikan orang lain.

Menyikapi Problema UKT
Mahasiswa yang secara individual maupun kelompok lemah telah menderita kerugian ekonomi serta perampasan terhadap kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang nyata-nyata hak dasar, baik karena tindakan maupun diakibatkan oleh kelalaian pejabat  perguruan tinggi “maladministrasi” yang patut untuk dipertanggungjawabkan, karena demikianlah perlindungan dan jaminan terhadap persamaan setiap orang di hadapan hukum (equality before the law).

Pemenuhan terhadap hak korban pendidikan UKT harus dilihat sebagai bagian dari usaha pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia. Kewajiban negara melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (kemendikbud) serta Rektor Perguruan Tinggi Negeri untuk bertanggungjawab melakukan pemulihan akan hak asasi korban. Lebih lanjut, kepada para korban yang pada akhirnya meninggalkan bangku perkuliahan yang disebabkan oleh pembiayaan uang kuliah tunggal yang membebani ekonomi keluarga.

Perlawanan terhadap kebijakan pendidikan yang diskriminasi dan adanya kastanisasi   diperlukan untuk meruntuhkan sistem pendidikan yang tidak berpihak kepada publik. Akan tetapi sembari mengupayakan perubahan besar itu, gerakan pendidikan kritis dapat menjadi langkah konkret yang bisa dimulai secara bertahap di lingkungan advokasi problema penerapan sistem UKT di PTN dengan tujuan mengkonsolidasikan suatu pemahaman bersama bahwa sistem pembiayaan UKT tersebut telah membebani mahasiswa miskin dan tidak mampu secara ekonomi, hingga berujung akan terputusnya keberlanjutan mahasiswa menyelesaikan studinya di PTN akibat tidak ada biaya pendidikan.

Oleh karena itu, patut untuk menolak sistem Uang Kuliah Tunggal ini supaya tidak ada lagi korban di kemudian hari terhadap mahasiswa-mahasiswa baru di lingkungan perguruan tinggi. Kemudian, merupakan tanggungjawab PTN untuk memulihkan hak-hak korban terhadap dampak penerapan sistem kebijakan UKT dengan menjamin bahwasanya mahasiswa yang telah BSS dapat melanjutkan kembali perkuliahannya, serta tidak ada lagi kegelisahan terhadap mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi untuk memikirkan  beban uang kuliah tunggal. #TolakUKT-SaveUNAND#

Penulis: Raymond Septian Laoli Analis Hukum, Lembaga Advokasi Mahasiswa dan Pengkajian Kemasyarakatan (LAM&PK)






settia